Acquired Immunodeficiency Syndrome atau
Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat
AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau:
sindrom) yang timbul karena rusaknya
sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus
HIV;
[1] atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (
SIV,
FIV, dan lain-lain).
Virusnya sendiri bernama
Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat
HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap
infeksi oportunistik ataupun mudah terkena
tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara
lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti
darah,
air mani,
cairan vagina,
cairan preseminal, dan
air susu ibu.
[2][3] Penularan dapat terjadi melalui
hubungan intim (vaginal,
anal, ataupun
oral),
transfusi darah,
jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama
kehamilan, bersalin, atau
menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari
Afrika Sub-Sahara.
[4] Kini AIDS telah menjadi
wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia.
[5] Pada
Januari 2006,
UNAIDS bekerja sama dengan
WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal
5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun
2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak.
[5] Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan
antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat
kematian dan
parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.
[6]
Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Terkadang hukuman sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat
orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).
Gejala dan komplikasi
Gejala-gejala utama AIDS.
Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh
bakteri,
virus,
fungi dan
parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV.
Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS.
[7] HIV memengaruhi hampir semua
organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti
sarkoma Kaposi,
kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut
limfoma.
Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti
demam,
berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan.
[8][9] Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.
Penyakit paru-paru utama
Pneumonia pneumocystis (PCP)
[10] jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki
kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV.
Penyebab penyakit ini adalah
fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan
tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah
CD4 kurang dari 200 per µL.
[11]
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit ini.
Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per µL), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering menyerang
sumsum tulang,
tulang, saluran kemih dan
saluran pencernaan,
hati, kelenjar getah bening (
nodus limfa regional), dan
sistem syaraf pusat.
[12] Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner.
Penyakit saluran pencernaan utama
Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (
esofagus), yaitu jalur makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamur
kandidiasis) atau virus (
herpes simpleks-1 atau
virus sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan oleh
mikobakteria, meskipun kasusnya langka.
[13]
Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti
Salmonella,
Shigella,
Listeria,
Kampilobakter, dan
Escherichia coli), serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti
kriptosporidiosis,
mikrosporidiosis,
Mycobacterium avium complex, dan
virus sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab
kolitis).
Pada beberapa kasus,
diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan efek samping dari
antibiotik yang digunakan untuk menangani bakteri diare (misalnya pada
Clostridium difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara
saluran pencernaan menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang berhubungan dengan HIV.
[14]
Penyakit syaraf dan kejiwaan utama
Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada syaraf (
neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem syaraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh
parasit bersel-satu, yang disebut
Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut (toksoplasma
ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada
mata dan paru-paru.
[15] Meningitis kriptokokal adalah infeksi
meninges (membran yang menutupi otak dan
sumsum tulang belakang) oleh jamur
Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam,
sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami
sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.
Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit
demielinasi, yaitu penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (
mielin) yang menutupi serabut sel syaraf (
akson), sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh
virus JC, yang 70% populasinya terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat (progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis.
[16]
Kompleks demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan mental (
demensia) yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (
ensefalopati metabolik) yang disebabkan oleh infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan imun oleh
makrofag dan
mikroglia pada otak yang mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan
neurotoksin.
[17] Kerusakan syaraf yang spesifik, tampak dalam bentuk ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik, yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan rendahnya jumlah sel T CD4
+ dan tingginya muatan virus pada plasma darah. Angka kemunculannya (prevalensi) di negara-negara Barat adalah sekitar 10-20%,
[18] namun di
India hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV.
[19][20] Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan subtipe HIV di
India.
Kanker dan tumor ganas (malignan)
Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh
virus DNA penyebab
mutasi genetik; yaitu terutama
virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan
virus papiloma manusia (HPV).
[21][22]
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun
1981 adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili
gammaherpesvirinae, yaitu
virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama
mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.
Kanker getah bening tingkat tinggi (
limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti
limfoma Burkitt (
Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya (
Burkitt's-like lymphoma),
diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan
limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (
prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh
virus Epstein-Barr atau virus herpes Sarkoma Kaposi.
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini disebabkan oleh
virus papiloma manusia.
Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti
limfoma Hodgkin,
kanker usus besar bawah (
rectum), dan kanker
anus. Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum seperti
kanker payudara dan
kanker usus besar (
colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi HIV. Di tempat-tempat dilakukannya
terapi antiretrovirus yang sangat aktif (HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab kematian yang paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.
[23]
Infeksi oportunistik lainnya
Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama
demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi
Mycobacterium avium-intracellulare dan
virus sitomegalo. Virus sitomegalo dapat menyebabkan gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang pada retina mata (
retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi yang disebabkan oleh jamur
Penicillium marneffei, atau disebut
Penisiliosis, kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis dan
kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik
Asia Tenggara.
[24]
Penyebab
-
Untuk detail lebih lanjut tentang topik ini, lihat HIV.
HIV yang baru memperbanyak diri tampak bermunculan sebagai bulatan-bulatan kecil (diwarnai hijau) pada permukaan
limfosit setelah menyerang sel tersebut; dilihat dengan
mikroskop elektron.
AIDS merupakan bentuk terparah atas akibat
infeksi HIV. HIV adalah
retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti
sel T CD4+ (sejenis
sel T),
makrofaga, dan
sel dendritik. HIV merusak sel T CD4
+ secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4
+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4
+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per
mikroliter (µL)
darah, maka kekebalan
di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi
akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4
+ di dalam darah serta adanya infeksi tertentu.
Tanpa
terapi antiretrovirus,
rata-rata lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan.
[25] Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi.
[26][27] Orang tua umumnya memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih berisiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti
tuberkulosis, juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini.
[25][28][29] Warisan genetik orang yang terinfeksi juga memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal secara alami terhadap beberapa varian HIV.
[30] HIV memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula.
[31][32][33] Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan dapat memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan penderita bertahan hidup.
Penularan seksual
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau
membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif.
[34] Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.
[35]
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan
jaringan epitel normal akibat adanya
borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (
limfosit dan
makrofaga) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara,
Eropa, dan
Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh
sifilis dan/atau
chancroid. Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti
kencing nanah, infeksi
chlamydia, dan
trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.
[36]
Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang.
Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV.
[36][37] Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual.
[38][39] Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.
Kontaminasi patogen melalui darah
Poster CDC tahun 1989, yang mengetengahkan bahaya AIDS sehubungan dengan pemakaian narkoba.
Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita
hemofilia, dan resipien
transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali
jarum suntik (
syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit (
patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga
hepatitis B dan
hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di
Amerika Utara,
Republik Rakyat Cina, dan
Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150.
Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu.
[40] Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima
rajah dan
tindik tubuh.
Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman.
[41] Oleh sebab itu,
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.
[42]
Resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian, menurut
WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi".
[43]
Penularan masa perinatal
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (
in utero) selama masa
perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara
bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%.
[44] Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya).
Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.
[45]
Diagnosis
Sejak tanggal
5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan
epidemiologi AIDS, seperti
definisi Bangui dan
definisi World Health Organization tentang AIDS tahun 1994. Namun demikian, kedua sistem tersebut sebenarnya ditujukan untuk pemantauan epidemi dan bukan untuk penentuan tahapan klinis pasien, karena definisi yang digunakan tidak sensitif ataupun spesifik. Di negara-negara berkembang, sistem
World Health Organization untuk infeksi HIV digunakan dengan memakai data klinis dan laboratorium; sementara di negara-negara maju digunakan sistem klasifikasi
Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat.
Sistem tahapan infeksi WHO
Grafik hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4
+ pada rata-rata infeksi HIV yang tidak ditangani. Keadaan penyakit dapat bervariasi tiap orang.
jumlah limfosit T CD4+ (sel/mm³) jumlah RNA HIV per mL plasma Pada tahun 1990,
World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-1.
[46] Sistem ini diperbarui pada bulan
September tahun
2005. Kebanyakan kondisi ini adalah
infeksi oportunistik yang dengan mudah ditangani pada orang sehat.
Sistem klasifikasi CDC
Terdapat dua definisi tentang AIDS, yang keduanya dikeluarkan oleh
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Awalnya CDC tidak memiliki nama resmi untuk penyakit ini; sehingga AIDS dirujuk dengan nama penyakit yang berhubungan dengannya, contohnya ialah
limfadenopati. Para penemu HIV bahkan pada mulanya menamai AIDS dengan nama virus tersebut.
[47][48] CDC mulai menggunakan kata AIDS pada bulan
September tahun
1982, dan mendefinisikan penyakit ini.
[49] Tahun
1993, CDC memperluas definisi AIDS mereka dengan memasukkan semua orang yang jumlah sel T CD4
+ di bawah 200 per µL darah atau 14% dari seluruh
limfositnya sebagai pengidap positif HIV.
[50] Mayoritas kasus AIDS di negara maju menggunakan kedua definisi tersebut, baik definisi CDC terakhir maupun pra-1993. Diagnosis terhadap AIDS tetap dipertahankan, walaupun jumlah sel T CD4
+ meningkat di atas 200 per µL darah setelah perawatan ataupun penyakit-penyakit tanda AIDS yang ada telah sembuh.
Tes HIV
Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV.
[51] Kurang dari 1% penduduk perkotaan di
Afrika yang aktif secara seksual telah menjalani tes HIV, dan persentasenya bahkan lebih sedikit lagi di pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita mengandung di perkotaan yang mendatangi fasilitas kesehatan umum memperoleh bimbingan tentang AIDS, menjalani pemeriksaan, atau menerima hasil tes mereka. Angka ini bahkan lebih kecil lagi di fasilitas kesehatan umum pedesaan.
[51] Dengan demikian, darah dari para pen
donor dan produk darah yang digunakan untuk pengobatan dan penelitian medis, harus selalu diperiksa kontaminasi HIV-nya.
Tes HIV umum, termasuk
imunoasai enzim HIV dan pengujian
Western blot, dilakukan untuk mendeteksi
antibodi HIV pada
serum,
plasma, cairan mulut, darah kering, atau
urin pasien. Namun demikian, periode antara infeksi dan berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang dapat dideteksi (
window period) bagi setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mengetahui
serokonversi dan hasil positif tes. Terdapat pula tes-tes komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-
RNA, dan HIV-
DNA, yang dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya belum dapat terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak disetujui secara khusus untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara maju.
Pencegahan
Perkiraan risiko masuknya HIV per aksi,
menurut rute paparan[52]
Rute paparan | Perkiraan infeksi
per 10.000 paparan
dengan sumber yang terinfeksi |
Transfusi darah | 9.000[53] |
Persalinan | 2.500[44] |
Penggunaan jarum suntik bersama-sama | 67[54] |
Hubungan seks anal reseptif* | 50[55][56] |
Jarum pada kulit | 30[57] |
Hubungan seksual reseptif* | 10[55][56][58] |
Hubungan seks anal insertif* | 6,5[55][56] |
Hubungan seksual insertif* | 5[55][56] |
Seks oral reseptif* | 1[56]§ |
Seks oral insertif* | 0,5[56]§ |
* tanpa penggunaan kondom
§ sumber merujuk kepada seks oral
yang dilakukan kepada laki-laki |
Tiga jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui
hubungan seksual, persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke
janin atau bayi selama periode sekitar kelahiran (periode
perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan pada
air liur,
air mata dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian risiko infeksinya secara umum dapat diabaikan.
[59]
Hubungan seksual
Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa
pelindung antarindividu yang salah satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual adalah modus utama infeksi HIV di dunia.
[60] Selama hubungan seksual, hanya
kondom pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko penularan HIV sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan.
[61] Kondom laki-laki berbahan
lateks, jika digunakan dengan benar tanpa pelumas berbahan dasar minyak, adalah satu-satunya teknologi yang paling efektif saat ini untuk mengurangi transmisi HIV secara seksual dan penyakit menular seksual lainnya. Pihak produsen kondom menganjurkan bahwa pelumas berbahan minyak seperti
vaselin,
mentega, dan
lemak babi tidak digunakan dengan kondom lateks karena bahan-bahan tersebut dapat melarutkan lateks dan membuat kondom berlubang. Jika diperlukan, pihak produsen menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air. Pelumas berbahan dasar minyak digunakan dengan kondom
poliuretan.
[62]
Kondom wanita adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari
poliuretan, yang memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak. Kondom wanita lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung terbuka keras berbentuk cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina. Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap di dalam vagina — untuk memasukkan kondom wanita, cincin ini harus ditekan. Kendalanya ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan harganya tidak terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa dengan tersedianya kondom wanita, hubungan seksual dengan pelindung secara keseluruhan meningkat relatif terhadap hubungan seksual tanpa pelindung sehingga kondom wanita merupakan strategi pencegahan HIV yang penting.
[63]
Penelitian terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan yang belum terinfeksi adalah di bawah 1% per tahun.
[64] Strategi pencegahan telah dikenal dengan baik di negara-negara maju. Namun, penelitian atas perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan keberadaan kelompok minoritas anak muda yang tetap melakukan kegiatan berisiko tinggi meskipun telah mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga mengabaikan risiko yang mereka hadapi atas infeksi HIV.
[65] Namun demikian, transmisi HIV antarpengguna narkoba telah menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah menjadi cukup langka di negara-negara maju.
Pada bulan Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan
uji acak terkendali mengkonfirmasi bahwa
sunat laki-laki menurunkan risiko infeksi HIV pada pria heteroseksual
Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara yang terinfeksi HIV paling parah, walaupun penerapannya akan berhadapan dengan sejumlah isu sehubungan masalah kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat. Beberapa ahli mengkhawatirkan bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada laki-laki bersunat, dapat meningkatkan perilaku seksual berisiko sehingga mengurangi dampak dari usaha pencegahan ini.
[66]
Pemerintah Amerika Serikat dan berbagai organisasi kesehatan menganjurkan
Pendekatan ABC untuk menurunkan risiko terkena HIV melalui hubungan seksual.
[67] Adapun rumusannya dalam bahasa Indonesia:
[68]
“ | Anda jauhi seks,
Bersikap saling setia dengan pasangan,
Cegah dengan kondom.
| ” |
Kontaminasi cairan tubuh terinfeksi
Wabah AIDS di Afrika Sub-Sahara tahun
1985-
2003.
Pekerja kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung tangan lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV.
Semua organisasi pencegahan AIDS menyarankan pengguna narkoba untuk tidak berbagi jarum dan bahan lainnya yang diperlukan untuk mempersiapkan dan mengambil narkoba (termasuk alat suntik, kapas bola, sendok, air pengencer obat, sedotan, dan lain-lain). Orang perlu menggunakan jarum yang baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi tentang membersihkan jarum menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas kesehatan dan
program penukaran jarum. Di sejumlah negara maju, jarum bersih terdapat gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum atau tempat penyuntikan yang aman. Banyak negara telah melegalkan kepemilikan jarum dan mengijinkan pembelian perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa perlu resep dokter.
Penularan dari ibu ke anak
Penelitian menunjukkan bahwa obat antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang penularan HIV dari ibu ke anak (
mother-to-child transmission, MTCT).
[69] Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah, terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin.
[5] Pada tahun
2005, sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika.
[70] Dari semua anak yang diduga kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.
[5]
Penanganan
- Lihat pula HIV dan Obat antiretrovirus.
Abacavir –
Nucleoside analog reverse transcriptase inhibitor (NARTI atau NRTI)
Sampai saat ini tidak ada
vaksin atau obat untuk
HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut
post-exposure prophylaxis (PEP).
[40] PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti
diare, tidak enak badan, mual, dan lelah.
[71]
Terapi antivirus
Penanganan infeksi HIV terkini adalah
terapi antiretrovirus yang sangat aktif (
highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART).
[72] Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun
1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan
protease inhibitor.
[6] Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut "koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau "kelas") bahan
antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah
nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan
protease inhibitor, atau dengan
non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa.
[73] Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan
kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal.
[74]
Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan.
[75][76] Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART.
[77] Meskipun demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan (
morbiditas) dan tingkat kematian (
mortalitas) karena HIV.
[78][79][80] Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan.
[25] Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun.
[81][82] Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan HAART.
[83] Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin .
[84][85][86] Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan HAART, antara lain
lipodistrofi,
dislipidaemia,
penolakan insulin, peningkatan risiko
sistem kardiovaskular, dan
kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan.
[87][88]
Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di dunia tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS tersebut.
[89]
Penanganan eksperimental dan saran
Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan epidemik global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya pengobatan lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu mengadakannya dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian.
[89] Namun setelah lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin.
[89]
Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya resistensi obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika menangani pasien dengan infeksi HIV atau AIDS.
Vaksinasi atas
hepatitis A dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam berisiko terinfeksi.
[90] Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang besar juga disarankan mendapatkan terapi pencegahan (
propilaktik) untuk
pneumonia pneumosistis, demikian juga pasien
toksoplasmosis dan
kriptokokus meningitis yang akan banyak pula mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik tersebut.
[71]
Pengobatan alternatif
Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah arah perkembangan penyakit.
[91] Akupunktur telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi (
peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri; namun tidak menyembuhkan infeksi HIV.
[92] Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek samping negatif yang serius.
[93]
Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen
multivitamin dan mineral kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa, meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas) akan berkurang pada orang-orang yang memiliki status nutrisi yang baik.
[94] Suplemen
vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa manfaat.
[94] Pemakaian
selenium dengan dosis rutin harian dapat menurunkan beban tekanan virus HIV melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat digunakan sebagai terapi pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas.
[95]
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alteratif memiliki hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut sesungguhnya adalah manfaat paling penting dari pemakaiannya.
[96]
Namun oleh penelitian yang mengungkapkan adanya
simtoma hipotiroksinemia pada penderita AIDS yang terjangkit
virus HIV-1, beberapa pakar menyarankan terapi dengan asupan
hormon tiroksin.
[97] Hormon tiroksin dikenal dapat meningkatkan laju metabolisme basal
sel eukariota[98] dan memperbaiki gradien pH pada
mitokondria.
[99]
Epidemiologi
Meratanya HIV diantara orang dewasa per negara pada akhir tahun
2005.
██ 15–50% ██ 5–15% ██ 1–5% | ██ 0.5–1.0% ██ 0.1–0.5% | ██ <0.1% ██ tidak ada data |
UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali diakui tahun
1981, membuat AIDS sebagai salah satu epidemik paling menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja, akses perawatan antiretrovirus bertambah baik di banyak region di dunia, epidemik AIDS diklaim bahwa diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4 dan 3,3 juta) hidup di tahun
2005 dan lebih dari setengah juta (570.000) merupakan anak-anak.
[5] Secara global, antara 33,4 dan 46 juta orang kini hidup dengan HIV.
[5] Pada tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2 juta orang terinfeksi dan antara 2,4 dan 3,3 juta orang dengan AIDS meninggal dunia, peningkatan dari
2003 dan jumlah terbesar sejak tahun
1981.
[5]
Afrika Sub-Sahara tetap merupakan wilayah terburuk yang terinfeksi, dengan perkiraan 21,6 sampai 27,4 juta jiwa kini hidup dengan HIV. Dua juta [1,5&-3,0 juta] dari mereka adalah anak-anak yang usianya lebih rendah dari 15 tahun. Lebih dari 64% dari semua orang yang hidup dengan HIV ada di Afrika Sub Sahara, lebih dari tiga per empat (76%) dari semua wanita hidup dengan HIV. Pada tahun
2005, terdapat 12.0 juta [10.6-13.6 juta] anak yatim/piatu AIDS hidup di Afrika Sub Sahara.
[5] Asia Selatan dan
Asia Tenggara adalah terburuk kedua yang terinfeksi dengan besar 15%. 500.000 anak-anak mati di region ini karena AIDS. Dua-tiga infeksi HIV/AIDS di
Asia muncul di
India, dengawn perkiraan 5.7 juta infeksi (perkiraan 3.4 - 9.4 juta) (0.9% dari populasi), melewati perkiraan di Afrika Selatan yang sebesar 5.5 juta (4.9-6.1 juta) (11.9% dari populasi) infeksi, membuat negara ini dengan jumlah terbesar infeksi HIV di dunia.
[100] Di 35 negara di
Afrika dengan perataan terbesar,
harapan hidup normal sebesar 48.3 tahun - 6.5 tahun sedikit daripada akan menjadi tanpa penyakit.
[101]
Sejarah
AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal
5 Juni 1981, ketika
Centers for Disease Control and Prevention Amerika Serikat mencatat adanya
Pneumonia pneumosistis (sekarang masih diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh
Pneumocystis jirovecii) pada lima laki-laki homoseksual di
Los Angeles.
[102]
Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah
HIV-1 dan
HIV-2. HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh. HIV-1 adalah sumber dari mayoritas infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit dimasukan dan kebanyakan berada di
Afrika Barat.
[103] Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari
primata. Asal HIV-1 berasal dari
simpanse Pan troglodytes troglodytes yang ditemukan di
Kamerun selatan.
[104] HIV-2 berasal dari
Sooty Mangabey (
Cercocebus atys), monyet dari
Guinea Bissau,
Gabon, dan
Kamerun.
Banyak ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak dengan primata lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan daging.
[105] Teori yang lebih kontroversial yang dikenal dengan nama
hipotesis OPV AIDS, menyatakan bahwa epidemik AIDS dimulai pada akhir tahun
1950-an di
Kongo Belgia sebagai akibat dari penelitian
Hilary Koprowski terhadap
vaksin polio.
[106][107] Namun demikian, komunitas ilmiah umumnya berpendapat bahwa skenario tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang ada.
[108][109][110]
Sosial dan budaya
Stigma
Ryan White sebagai model poster HIV. Ia dikeluarkan dari sekolah dengan alasan terinfeksi HIV.
Hukuman sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap pengidap AIDS terdapat dalam berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan pengasingan, penolakan,
diskriminasi, dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi HIV; diwajibkannya uji coba HIV tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu atau perlindungan kerahasiaannya; dan penerapan karantina terhadap orang-orang yang terinfeksi HIV.
[111] Kekerasan atau ketakutan atas kekerasan, telah mencegah banyak orang untuk melakukan tes HIV, memeriksa bagaimana hasil tes mereka, atau berusaha untuk memperoleh perawatan; sehingga mungkin mengubah suatu sakit kronis yang dapat dikendalikan menjadi "hukuman mati" dan menjadikan meluasnya penyebaran HIV.
[112]
Stigma AIDS lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori:
- Stigma instrumental AIDS - yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-hal yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan menular.[113]
- Stigma simbolis AIDS - yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap berhubungan dengan penyakit tersebut.[113]
- Stigma kesopanan AIDS - yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan dengan isu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.[114]
Stigma AIDS sering diekspresikan dalam satu atau lebih stigma, terutama yang berhubungan dengan
homoseksualitas,
biseksualitas,
pelacuran, dan penggunaan narkoba melalui suntikan.
Di banyak
negara maju, terdapat penghubungan antara AIDS dengan homoseksualitas atau biseksualitas, yang berkorelasi dengan tingkat prasangka seksual yang lebih tinggi, misalnya sikap-sikap anti homoseksual.
[115] Demikian pula terdapat anggapan adanya hubungan antara AIDS dengan hubungan seksual antar laki-laki, termasuk bila hubungan terjadi antara pasangan yang belum terinfeksi.
[113]
Dampak ekonomi
Perubahan angka harapan hidup di beberapa negara di Afrika.
Botswana Zimbabwe Kenya Afrika Selatan Uganda HIV dan AIDS memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan menghancurkan jumlah manusia dengan kemampuan produksi (
human capital).
[5] Tanpa
nutrisi yang baik, fasilitas kesehatan dan obat yang ada di negara-negara berkembang, orang di negara-negara tersebut menjadi korban AIDS. Mereka tidak hanya tidak dapat bekerja, tetapi juga akan membutuhkan fasilitas kesehatan yang memadai. Ramalan bahwa hal ini akan menyebabkan runtuhnya ekonomi dan hubungan di daerah. Di daerah yang terinfeksi berat, epidemik telah meninggalkan banyak anak yatim piatu yang dirawat oleh kakek dan neneknya yang telah tua.
[116]
Semakin tingginya tingkat kematian (mortalitas) di suatu daerah akan menyebabkan mengecilnya populasi pekerja dan mereka yang berketerampilan. Para pekerja yang lebih sedikit ini akan didominasi anak muda, dengan pengetahuan dan pengalaman kerja yang lebih sedikit sehingga produktivitas akan berkurang. Meningkatnya cuti pekerja untuk melihat anggota keluarga yang sakit atau cuti karena sakit juga akan mengurangi produktivitas. Mortalitas yang meningkat juga akan melemahkan mekanisme produksi dan
investasi sumberdaya manusia (
human capital) pada masyarakat, yaitu akibat hilangnya pendapatan dan meninggalnya para orang tua. Karena AIDS menyebabkan meninggalnya banyak orang dewasa muda, ia melemahkan populasi pembayar pajak, mengurangi dana publik seperti pendidikan dan fasilitas kesehatan lain yang tidak berhubungan dengan AIDS. Ini memberikan tekanan pada keuangan negara dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Efek melambatnya pertumbuhan jumlah wajib pajak akan semakin terasakan bila terjadi peningkatan pengeluaran untuk penanganan orang sakit, pelatihan (untuk menggantikan pekerja yang sakit), penggantian biaya sakit, serta perawatan yatim piatu korban AIDS. Hal ini terutama mungkin sekali terjadi jika peningkatan tajam mortalitas orang dewasa menyebabkan berpindahnya tanggung-jawab dan penyalahan, dari keluarga kepada pemerintah, untuk menangani para anak yatim piatu tersebut.
[116]
Pada tingkat rumah tangga, AIDS menyebabkan hilangnya pendapatan dan meningkatkan pengeluaran kesehatan oleh suatu rumah tangga. Berkurangnya pendapatan menyebabkan berkurangnya pengeluaran, dan terdapat juga efek pengalihan dari pengeluaran pendidikan menuju pengeluaran kesehatan dan penguburan. Penelitian di
Pantai Gading menunjukkan bahwa rumah tanggal dengan pasien HIV/AIDS mengeluarkan biaya dua kali lebih banyak untuk perawatan medis daripada untuk pengeluaran rumah tangga lainnya.
[117]
Penyangkalan atas AIDS
Sekelompok kecil aktivis, diantaranya termasuk beberapa ilmuwan yang tidak meneliti AIDS, mempertanyakan tentang adanya hubungan antara HIV dan AIDS,
[118] keberadaan HIV itu sendiri,
[119] serta kebenaran atas percobaan dan metode perawatan yang digunakan untuk menanganinya. Klaim mereka telah diperiksa dan secara luas ditolak oleh komunitas ilmiah,
[120] walaupun terus saja disebarkan melalui
Internet dan sempat memiliki pengaruh politik di
Afrika Selatan melalui mantan presiden
Thabo Mbeki, yang menyebabkan pemerintahnya disalahkan atas respon yang tidak efektif terhadap epidemik AIDS di negara tersebut.
[121][122][123]
Referensi
- ^ Marx, J. L. (1982). "New disease baffles medical community". Science 217 (4560): 618–621. PubMed
.
- ^ Divisions of HIV/AIDS Prevention. (2003). HIV and Its Transmission
. Centers for Disease Control & Prevention. Diakses pada 23 Mei 2006.
- ^ San Francisco AIDS Foundation. (2006-04-14). How HIV is spread
. Diakses pada 23 Mei 2006.
- ^ Gao, F., Bailes, E., Robertson, D. L., Chen, Y., Rodenburg, C. M., Michael, S. F., Cummins, L. B., Arthur, L. O., Peeters, M., Shaw, G. M., Sharp, P. M. and Hahn, B. H. (1999). "Origin of HIV-1 in the Chimpanzee Pan troglodytes troglodytes". Nature 397 (6718): 436–441. PubMed
DOI:10.1038/17130
.
- ^ a b c d e f g h i UNAIDS (2006). "Overview of the global AIDS epidemic"
(PDF). 2006 Report on the global AIDS epidemic. http://data.unaids.org/pub/GlobalReport/2006/2006_GR_CH02_en.pdf
. Diakses pada 2006-06-08.
- ^ a b Palella, F. J. Jr, Delaney, K. M., Moorman, A. C., Loveless, M. O., Fuhrer, J., Satten, G. A., Aschman and D. J., Holmberg, S. D. (1998). "Declining morbidity and mortality among patients with advanced human immunodeficiency virus infection. HIV Outpatient Study Investigators". N. Engl. J. Med 338 (13): 853–860. PubMed
.
- ^ Holmes, C. B., Losina, E., Walensky, R. P., Yazdanpanah, Y., Freedberg, K. A. (2003). "Review of human immunodeficiency virus type 1-related opportunistic infections in sub-Saharan Africa". Clin. Infect. Dis. 36 (5): 656–662. PubMed
.
- ^ Guss, D. A. (1994). "The acquired immune deficiency syndrome: an overview for the emergency physician, Part 1". J. Emerg. Med. 12 (3): 375–384. PubMed
.
- ^ Guss, D. A. (1994). "The acquired immune deficiency syndrome: an overview for the emergency physician, Part 2". J. Emerg. Med. 12 (4): 491–497. PubMed
.
- ^ Dahulu pernah dinamakan Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), dan sekarang singkatannya masih digunakan tetapi merupakan kependekan dari Pneumocystis pneumonia.
- ^ Feldman, C. (2005). "Pneumonia associated with HIV infection". Curr. Opin. Infect. Dis. 18 (2): 165–170. PubMed
.
- ^ Decker, C. F. and Lazarus, A. (2000). "Tuberculosis and HIV infection. How to safely treat both disorders concurrently". Postgrad Med. 108 (2): 57–60, 65–68. PubMed
.
- ^ Zaidi, S. A. & Cervia, J. S. (2002). "Diagnosis and management of infectious esophagitis associated with human immunodeficiency virus infection". J. Int. Assoc. Physicians AIDS Care (Chic Ill) 1 (2): 53–62. PubMed
.
- ^ Guerrant, R. L., Hughes, J. M., Lima, N. L., Crane, J. (1990). "Diarrhea in developed and developing countries: magnitude, special settings, and etiologies". Rev. Infect. Dis. 12 (Suppl 1): S41–S50. PubMed
.
- ^ Luft, B. J. and Chua, A. (2000). "Central Nervous System Toxoplasmosis in HIV Pathogenesis, Diagnosis, and Therapy". Curr. Infect. Dis. Rep. 2 (4): 358–362. PubMed
.
- ^ Sadler, M. and Nelson, M. R. (1997). "Progressive multifocal leukoencephalopathy in HIV". Int. J. STD AIDS 8 (6): 351–357. PubMed
.
- ^ Gray, F., Adle-Biassette, H., ChrĂ©tien, F., Lorin de la Grandmaison, G., Force, G., Keohane, C. (2001). "Neuropathology and neurodegeneration in human immunodeficiency virus infection. Pathogenesis of HIV-induced lesions of the brain, correlations with HIV-associated disorders and modifications according to treatments". Clin. Neuropathol. 20 (4): 146–155. PubMed
.
- ^ Grant, I., Sacktor, H., and McArthur, J. (2005). "HIV neurocognitive disorders"
. di dalam H. E. Gendelman, I. Grant, I. Everall, S. A. Lipton, and S. Swindells. (ed.) (PDF). The Neurology of AIDS (edisi ke-2nd). London, UK: Oxford University Press. hlm. 357–373. ISBN 0-19-852610-5. http://www.hnrc.ucsd.edu/publications_pdf/2005grant1.pdf
.
- ^ Satishchandra, P., Nalini, A., Gourie-Devi, M., Khanna, N., Santosh, V., Ravi, V., Desai, A., Chandramuki, A., Jayakumar, P. N., and Shankar, S. K. (2000). "Profile of neurologic disorders associated with HIV/AIDS from Bangalore, South India (1989–1996)". Indian J. Med. Res. 11: 14–23. PubMed
.
- ^ Wadia, R. S., Pujari, S. N., Kothari, S., Udhar, M., Kulkarni, S., Bhagat, S., and Nanivadekar, A. (2001). "Neurological manifestations of HIV disease". J. Assoc. Physicians India 49: 343–348. PubMed
.
- ^ Boshoff, C. and Weiss, R. (2002). "AIDS-related malignancies". Nat. Rev. Cancer 2 (5): 373–382. PubMed
.
- ^ Yarchoan, R., Tosatom G. and Littlem R. F. (2005). "Therapy insight: AIDS-related malignancies — the influence of antiviral therapy on pathogenesis and management". Nat. Clin. Pract. Oncol. 2 (8): 406–415. PubMed
.
- ^ Bonnet, F., Lewden, C., May, T., Heripret, L., Jougla, E., Bevilacqua, S., Costagliola, D., Salmon, D., Chene, G. and Morlat, P. (2004). "Malignancy-related causes of death in human immunodeficiency virus-infected patients in the era of highly active antiretroviral therapy". Cancer 101 (2): 317–324. PubMed
.
- ^ Skoulidis, F., Morgan, M. S., and MacLeod, K. M. (2004). "Penicillium marneffei: a pathogen on our doorstep?". J. R. Soc. Med. 97 (2): 394–396. PubMed
.
- ^ a b c Morgan, D., Mahe, C., Mayanja, B., Okongo, J. M., Lubega, R. and Whitworth, J. A. (2002). "HIV-1 infection in rural Africa: is there a difference in median time to AIDS and survival compared with that in industrialized countries?". AIDS 16 (4): 597–632. PubMed
.
- ^ Clerici, M., Balotta, C., Meroni, L., Ferrario, E., Riva, C., Trabattoni, D., Ridolfo, A., Villa, M., Shearer, G.M., Moroni, M. and Galli, M. (1996). "Type 1 cytokine production and low prevalence of viral isolation correlate with long-term non progression in HIV infection". AIDS Res. Hum. Retroviruses. 12 (11): 1053–1061. PubMed
.
- ^ Morgan, D., Mahe, C., Mayanja, B. and Whitworth, J. A. (2002). "Progression to symptomatic disease in people infected with HIV-1 in rural Uganda: prospective cohort study". BMJ 324 (7331): 193–196. PubMed
.
- ^ Gendelman, H. E., Phelps, W., Feigenbaum, L., Ostrove, J. M., Adachi, A., Howley, P. M., Khoury, G., Ginsberg, H. S. and Martin, M. A. (1986). "Transactivation of the human immunodeficiency virus long terminal repeat sequences by DNA viruses". Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A. 83 (24): 9759–9763. PubMed
.
- ^ Bentwich, Z., Kalinkovich., A. and Weisman, Z. (1995). "Immune activation is a dominant factor in the pathogenesis of African AIDS.". Immunol. Today 16 (4): 187–191. PubMed
.
- ^ Contohnya adalah orang dengan mutasi CCR5-Δ32 (delesi 32 nukleotida pada gen penyandi reseptor chemokine CCR5 yang mempengaruhi fungsi sel T) yang kebal terhadap beberapa galur HIV.Tang, J. and Kaslow, R. A. (2003). "The impact of host genetics on HIV infection and disease progression in the era of highly active antiretroviral therapy". AIDS 17 (Suppl 4): S51–S60. PubMed
.
- ^ Quiñones-Mateu, M. E., Mas, A., Lain de Lera, T., Soriano, V., Alcami, J., Lederman, M. M. and Domingo, E. (1998). "LTR and tat variability of HIV-1 isolates from patients with divergent rates of disease progression". Virus Research 57 (1): 11–20. PubMed
.
- ^ Campbell, G. R., Pasquier, E., Watkins, J., Bourgarel-Rey, V., Peyrot, V., Esquieu, D., Barbier, P., de Mareuil, J., Braguer, D., Kaleebu, P., Yirrell, D. L. and Loret E. P. (2004). "The glutamine-rich region of the HIV-1 Tat protein is involved in T-cell apoptosis". J. Biol. Chem. 279 (46): 48197–48204. PubMed
.
- ^ Kaleebu P, French N, Mahe C, Yirrell D, Watera C, Lyagoba F, Nakiyingi J, Rutebemberwa A, Morgan D, Weber J, Gilks C, Whitworth J. (2002). "Effect of human immunodeficiency virus (HIV) type 1 envelope subtypes A and D on disease progression in a large cohort of HIV-1-positive persons in Uganda". J. Infect. Dis. 185 (9): 1244–1250. PubMed
.
- ^ Rothenberg, R. B., Scarlett, M., del Rio, C., Reznik, D., O'Daniels, C. (1998). "Oral transmission of HIV". AIDS 12 (16): 2095–2105. PubMed
.
- ^ Koenig, Michael et al (2004). "Coerced first intercourse and reproductive health among adolescent women in Rakai, Uganda". International Family Planning Perspectives 30 (4:156): 156.
- ^ a b Laga, M., Nzila, N., Goeman, J. (1991). "The interrelationship of sexually transmitted diseases and HIV infection: implications for the control of both epidemics in Africa". AIDS 5 (Suppl 1): S55–S63. PubMed
.
- ^ Tovanabutra, S., Robison, V., Wongtrakul, J., Sennum, S., Suriyanon, V., Kingkeow, D., Kawichai, S., Tanan, P., Duerr, A., Nelson, K. E. (2002). "Male viral load and heterosexual transmission of HIV-1 subtype E in northern Thailand". J. Acquir. Immune. Defic. Syndr. 29 (3): 275–283. PubMed
.
- ^ Sagar, M., Lavreys, L., Baeten, J. M., Richardson, B. A., Mandaliya, K., Ndinya-Achola, J. O., Kreiss, J. K., Overbaugh, J. (2004). "Identification of modifiable factors that affect the genetic diversity of the transmitted HIV-1 population". AIDS 18 (4): 615–619. PubMed
.
- ^ Lavreys, L., Baeten, J. M., Martin, H. L. Jr., Overbaugh, J., Mandaliya, K., Ndinya-Achola, J., and Kreiss, J. K. (2004). "Hormonal contraception and risk of HIV-1 acquisition: results of a 10-year prospective study". AIDS 18 (4): 695–697. PubMed
.
- ^ a b Fan, H. (2005). Fan, H., Conner, R. F. and Villarreal, L. P. eds. ed. AIDS: science and society (edisi ke-4th). Boston, MA: Jones and Bartlett Publishers. ISBN 0-7637-0086-X.
- ^ WHO. (2003-03-17). WHO, UNAIDS Reaffirm HIV as a Sexually Transmitted Disease
. Diakses pada 17 Januari 2006.
- ^ Physicians for Human Rights. (2003-03-13). HIV Transmission in the Medical Setting: A White Paper by Physicians for Human Rights
. Partners in Health. Diakses pada 1 Maret 2006.
- ^ WHO. (2001). Blood safety....for too few
. Diakses pada 17 Januari 2006.
- ^ a b Coovadia, H. (2004). "Antiretroviral agents—how best to protect infants from HIV and save their mothers from AIDS". N. Engl. J. Med. 351 (3): 289–292. PubMed
.
- ^ Coovadia HM, Bland RM (2007). "Preserving breastfeeding practice through the HIV pandemic". Trop. Med. Int. Health. 12 (9): 1116–1133.
- ^ World Health Organization (1990). "Interim proposal for a WHO staging system for HIV infection and disease". WHO Wkly Epidem. Rec. 65 (29): 221–228. PubMed
.
- ^ Centers for Disease Control (CDC) (1982). "Persistent, generalized lymphadenopathy among homosexual males.". MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 31 (19): 249–251. PubMed
.
- ^ BarrĂ©-Sinoussi, F., Chermann, J. C., Rey, F., Nugeyre, M. T., Chamaret, S., Gruest, J., Dauguet, C., Axler-Blin, C., Vezinet-Brun, F., Rouzioux, C., Rozenbaum, W. and Montagnier, L. (1983). "Isolation of a T-lymphotropic retrovirus from a patient at risk for acquired immune deficiency syndrome (AIDS)". Science 220 (4599): 868–871. PubMed
.
- ^ Centers for Disease Control (CDC) (1982). "Update on acquired immune deficiency syndrome (AIDS)—United States.". MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 31 (37): 507–508; 513–514. PubMed
.
- ^ CDC. (1992). 1993 Revised Classification System for HIV Infection and Expanded Surveillance Case Definition for AIDS Among Adolescents and Adults
. CDC. Diakses pada 9 Februari 2006.
- ^ a b Kumaranayake, L. and Watts, C. (2001). "Resource allocation and priority setting of HIV/AIDS interventions: addressing the generalized epidemic in sub-Saharan Africa". J. Int. Dev. 13 (4): 451–466. doi:10.1002/jid.798
.
- ^ Smith, D. K., Grohskopf, L. A., Black, R. J., Auerbach, J. D., Veronese, F., Struble, K. A., Cheever, L., Johnson, M., Paxton, L. A., Onorato, I. A., Greenberg, A. E. (2005). "Antiretroviral Postexposure Prophylaxis After Sexual, Injection-Drug Use, or Other Nonoccupational Exposure to HIV in the United States"
. MMWR 54 (RR02): 1–20.
- ^ Donegan, E., Stuart, M., Niland, J. C., Sacks, H. S., Azen, S. P., Dietrich, S. L., Faucett, C., Fletcher, M. A., Kleinman, S. H., Operskalski, E. A., et al. (1990). "Infection with human immunodeficiency virus type 1 (HIV-1) among recipients of antibody-positive blood donations". Ann. Intern. Med. 113 (10): 733–739. PubMed
.
- ^ Kaplan, E. H. and Heimer, R. (1995). "HIV incidence among New Haven needle exchange participants: updated estimates from syringe tracking and testing data". J. Acquir. Immune Defic. Syndr. Hum. Retrovirol. 10 (2): 175–176. PubMed
.
- ^ a b c d European Study Group on Heterosexual Transmission of HIV (1992). "Comparison of female to male and male to female transmission of HIV in 563 stable couples". BMJ. 304 (6830): 809–813. PubMed
.
- ^ a b c d e f Varghese, B., Maher, J. E., Peterman, T. A., Branson, B. M. and Steketee, R. W. (2002). "Reducing the risk of sexual HIV transmission: quantifying the per-act risk for HIV on the basis of choice of partner, sex act, and condom use". Sex. Transm. Dis. 29 (1): 38–43. PubMed
.
- ^ Bell, D. M. (1997). "Occupational risk of human immunodeficiency virus infection in healthcare workers: an overview.". Am. J. Med. 102 (5B): 9–15. PubMed
.
- ^ Leynaert, B., Downs, A. M. and de Vincenzi, I. (1998). "Heterosexual transmission of human immunodeficiency virus: variability of infectivity throughout the course of infection. European Study Group on Heterosexual Transmission of HIV". Am. J. Epidemiol. 148 (1): 88–96. PubMed
.
- ^ Facts about AIDS & HIV
. Diakses pada 14 Desember 2006.
- ^ Johnson AM & Laga M, Heterosexual transmission of HIV, AIDS, 1988, 2(suppl. 1):S49-S56; N'Galy B & Ryder RW, Epidemiology of HIV infection in Africa, Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes, 1988, 1(6):551-558; dan Deschamps M et al., Heterosexual transmission of HIV in Haiti, Annals of Internal Medicine, 1996, 125(4):324-330.
- ^ Cayley, W. E. Jr. (2004). "Effectiveness of condoms in reducing heterosexual transmission of HIV". Am. Fam. Physician 70 (7): 1268–1269. PubMed
.
- ^ Durex. Module 5/Guidelines for Educators
. (Microsoft Word) Diakses pada 17 April 2006.
- ^ PATH (2006). "The female condom: significant potential for STI and pregnancy prevention". Outlook 22 (2).
- ^ WHO. (August, 2003). Condom Facts and Figures
. Diakses pada 17 Januari 2006.
- ^ Dias, S. F., Matos, M. G. and Goncalves, A. C. (2005). "Preventing HIV transmission in adolescents: an analysis of the Portuguese data from the Health Behaviour School-aged Children study and focus groups". Eur. J. Public Health 15 (3): 300–304. PubMed
.
- ^ NIAID. Adult Male Circumcision Significantly Reduces Risk of Acquiring HIV: Trials Kenya and Uganda Stopped Early
. Diakses pada 15 Desember 2006.
- ^ Pendekatan ABC oleh Pemerintah Amerika Serikat:
- Abstinence or delay of sexual activity, especially for youth (berpantang atau menunda kegiatan seksual, terutama bagi remaja),
- Being faithful, especially for those in committed relationships (setia pada pasangan, terutama bagi orang yang sudah memiliki pasangan),
- Condom use, for those who engage in risky behavior (penggunaan kondom, bagi orang yang melakukan perilaku berisiko).
- ^ "Yayasan Bhakti Gelar Orasi Panggung"
, Bali Post, 2 Desember 2003, http://www.balipost.com/balipostcetak/2003/12/2/n2.htm
- ^ Sperling, R. S., Shapirom D. E., Coombsm R. W., Todd, J. A., Herman, S. A., McSherry, G. D., O'Sullivan, M. J., Van Dyke, R. B., Jimenez, E., Rouzioux, C., Flynn, P. M., Sullivan, J. L. (1996). "Maternal viral load, zidovudine treatment, and the risk of transmission of human immunodeficiency virus type 1 from mother to infant". N. Engl. J. Med. 335 (22): 1621–1629. PubMed
.
- ^ Berry, S.. (2006-06-08). Children, HIV and AIDS
. avert.org. Diakses pada 15 Juni 2006.
- ^ a b Department of Health and Human Services. (February, 2006). A Pocket Guide to Adult HIV/AIDS Treatment February 2006 edition
. Diakses pada 1 September 2006.
- ^ Department of Health and Human Services. (February, 2006). A Pocket Guide to Adult HIV/AIDS Treatment February 2006 edition
. Diakses pada 1 September 2006.
- ^ Department of Health and Human Services Working Group on Antiretroviral Therapy and Medical Management of HIV-Infected Children. (3 November, 2005). Guidelines for the Use of Antiretroviral Agents in Pediatric HIV Infection
. (PDF) Diakses pada 17 Januari 2006.
- ^ Department of Health and Human Services Panel on Clinical Practices for Treatment of HIV Infection. (October 6, 2005). Guidelines for the Use of Antiretroviral Agents in HIV-1-Infected Adults and Adolescents
. (PDF) Diakses pada 17 Januari 2006.
- ^ Martinez-Picado, J., DePasquale, M. P., Kartsonis, N., Hanna, G. J., Wong, J., Finzi, D., Rosenberg, E., Gunthard, H. F., Sutton, L., Savara, A., Petropoulos, C. J., Hellmann, N., Walker, B. D., Richman, D. D., Siliciano, R. and D'Aquila, R. T. (2000). "Antiretroviral resistance during successful therapy of human immunodeficiency virus type 1 infection". Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A. 97 (20): 10948–10953. PubMed
.
- ^ Dybul, M., Fauci, A. S., Bartlett, J. G., Kaplan, J. E., Pau, A. K.; Panel on Clinical Practices for Treatment of HIV. (2002). "Guidelines for using antiretroviral agents among HIV-infected adults and adolescents". Ann. Intern. Med. 137 (5 Pt 2): 381–433. PubMed
.
- ^ Blankson, J. N., Persaud, D., Siliciano, R. F. (2002). "The challenge of viral reservoirs in HIV-1 infection". Annu. Rev. Med. 53: 557–593. PubMed
.
- ^ Palella, F. J., Delaney, K. M., Moorman, A. C., Loveless, M. O., Fuhrer, J., Satten, G. A., Aschman, D. J. and Holmberg, S. D. (1998). "Declining morbidity and mortality among patients with advanced human immunodeficiency virus infection". N. Engl. J. Med. 338 (13): 853–860. PubMed
.
- ^ Wood, E., Hogg, R. S., Yip, B., Harrigan, P. R., O'Shaughnessy, M. V. and Montaner, J. S. (2003). "Is there a baseline CD4 cell count that precludes a survival response to modern antiretroviral therapy?". AIDS 17 (5): 711–720. PubMed
.
- ^ Chene, G., Sterne, J. A., May, M., Costagliola, D., Ledergerber, B., Phillips, A. N., Dabis, F., Lundgren, J., D'Arminio Monforte, A., de Wolf, F., Hogg, R., Reiss, P., Justice, A., Leport, C., Staszewski, S., Gill, J., Fatkenheuer, G., Egger, M. E. and the Antiretroviral Therapy Cohort Collaboration. (2003). "Prognostic importance of initial response in HIV-1 infected patients starting potent antiretroviral therapy: analysis of prospective studies". Lancet 362 (9385): 679–686. PubMed
.
- ^ King, J. T., Justice, A. C., Roberts, M. S., Chang, C. H., Fusco, J. S. and the CHORUS Program Team. (2003). "Long-Term HIV/AIDS Survival Estimation in the Highly Active Antiretroviral Therapy Era". Medical Decision Making 23 (1): 9–20. PubMed
.
- ^ Tassie, J.M., Grabar, S., Lancar, R., Deloumeaux, J., Bentata, M., Costagliola, D. and the Clinical Epidemiology Group from the French Hospital Database on HIV. (2002). "Time to AIDS from 1992 to 1999 in HIV-1-infected subjects with known date of infection". Journal of acquired immune deficiency syndromes 30 (1): 81–7. PubMed
.
- ^ Becker SL, Dezii CM, Burtcel B, Kawabata H, Hodder S. (2002). "Young HIV-infected adults are at greater risk for medication nonadherence". MedGenMed. 4 (3): 21. PubMed
.
- ^ Nieuwkerk, P., Sprangers, M., Burger, D., Hoetelmans, R. M., Hugen, P. W., Danner, S. A., van Der Ende, M. E., Schneider, M. M., Schrey, G., Meenhorst, P. L., Sprenger, H. G., Kauffmann, R. H., Jambroes, M., Chesney, M. A., de Wolf, F., Lange, J. M. and the ATHENA Project. (2001). "Limited Patient Adherence to Highly Active Antiretroviral Therapy for HIV-1 Infection in an Observational Cohort Study". Arch. Intern. Med. 161 (16): 1962–1968. PubMed
.
- ^ Kleeberger, C., Phair, J., Strathdee, S., Detels, R., Kingsley, L. and Jacobson, L. P. (2001). "Determinants of Heterogeneous Adherence to HIV-Antiretroviral Therapies in the Multicenter AIDS Cohort Study". J. Acquir. Immune Defic. Syndr. 26 (1): 82–92. PubMed
.
- ^ Heath, K. V., Singer, J., O'Shaughnessy, M. V., Montaner, J. S. and Hogg, R. S. (2002). "Intentional Nonadherence Due to Adverse Symptoms Associated With Antiretroviral Therapy". J. Acquir. Immune Defic. Syndr. 31 (2): 211–217. PubMed
.
- ^ Montessori, V., Press, N., Harris, M., Akagi, L., Montaner, J. S. (2004). "Adverse effects of antiretroviral therapy for HIV infection.". CMAJ 170 (2): 229–238. PubMed
.
- ^ Saitoh, A., Hull, A. D., Franklin, P. and Spector, S. A. (2005). "Myelomeningocele in an infant with intrauterine exposure to efavirenz". J. Perinatol. 25 (8): 555–556. PubMed
.
- ^ a b c Ferrantelli F, Cafaro A, Ensoli B. (2004). "Nonstructural HIV proteins as targets for prophylactic or therapeutic vaccines". Curr Opin Biotechnol. 15 (6): 543–556. PubMed
.
- ^ Laurence J. (2006). "Hepatitis A and B virus immunization in HIV-infected persons". AIDS Reader 16 (1): 15–17. PubMed
.
- ^ Saltmarsh, S. (2005). "Voodoo or valid? Alternative therapies benefit those living with HIV"
. Positively Aware 3 (16): 46. PubMed
.
- ^ Nicholas PK, Kemppainen JK, Canaval GE, et al (February 2007). "Symptom management and self-care for peripheral neuropathy in HIV/AIDS"
. AIDS Care 19 (2): 179–89. DOI:10.1080/09540120600971083
Diakses pada 28 April 2008.
- ^ Liu JP, Manheimer E, Yang M (2005). "Herbal medicines for treating HIV infection and AIDS". Cochrane Database Syst Rev (3): CD003937. DOI:10.1002/14651858.CD003937.pub2
Diakses pada 28 April 2008.
- ^ a b Irlam JH, Visser ME, Rollins N, Siegfried N (2005). "Micronutrient supplementation in children and adults with HIV infection". Cochrane Database Syst Rev (4): CD003650. DOI:10.1002/14651858.CD003650.pub2
.
- ^ Hurwitz BE, Klaus JR, Llabre MM, et al (January 2007). "Suppression of human immunodeficiency virus type 1 viral load with selenium supplementation: a randomized controlled trial". Arch. Intern. Med. 167 (2): 148–54. DOI:10.1001/archinte.167.2.148
Diakses pada 28 April 2008.
- ^ Power R, Gore-Felton C, Vosvick M, Israelski DM, Spiegel D (June 2002). "HIV: effectiveness of complementary and alternative medicine". Prim. Care 29 (2): 361–78 Diakses pada 28 April 2008.
- ^ (en) Hypothyroxinemia in acquired immune deficiency syndrome (AIDS).
. Department of Radiation Medicine, University of Nigeria Teaching Hospital; Ezeala CC, Chukwurah E.. Diakses pada 18 Juli 2010.
- ^ (en) Hyperthyroidism stimulates mitochondrial proton leak and ATP turnover in rat hepatocytes but does not change the overall kinetics of substrate oxidation reactions
. Department of Biochemistry, University of Cambridge; Harper ME, Brand MD.. Diakses pada 18 Juli 2010.
- ^ (en) Chemiosmotic Gradient: Generation and Maintenance
. Department of Biochemistry & Cell Biology; Rice University. Diakses pada 18 Juli 2010.
- ^ UNAIDS (2006). "Annex 2: HIV/AIDS estimates and data, 2005"
(PDF). 2006 Report on the global AIDS epidemic. http://data.unaids.org/pub/GlobalReport/2006/2006_GR_ANN2_en.pdf
. Diakses pada 2006-06-08.
- ^ UNAIDS. (2001). Special Session of the General Assembly on HIV/AIDS Round table 3 Socio-economic impact of the epidemic and the strengthening of national capacities to combat HIV/AIDS
. (PDF) Diakses pada 15 Juni 2006.
- ^ CDC. (1981). Pneumocystis Pneumonia — Los Angeles
. CDC. Diakses pada 17 Januari 2006.
- ^ Reeves, J. D. and Doms, R. W (2002). "Human Immunodeficiency Virus Type 2". J. Gen. Virol. 83 (Pt 6): 1253–1265. PubMed
.
- ^ Keele, B. F., van Heuverswyn, F., Li, Y. Y., Bailes, E., Takehisa, J., Santiago, M. L., Bibollet-Ruche, F., Chen, Y., Wain, L. V., Liegois, F., Loul, S., Mpoudi Ngole, E., Bienvenue, Y., Delaporte, E., Brookfield, J. F. Y., Sharp, P. M., Shaw, G. M., Peeters, M., Hahn, B. H. (2006). "Chimpanzee Reservoirs of Pandemic and Nonpandemic HIV-1"
. Science Online 2006-05-25. PubMed
doi:10.1126/science.1126531
.
- ^ Cohen, J. (2000). "Vaccine Theory of AIDS Origins Disputed at Royal Society". Science 289 (5486): 1850–1851. PubMed
.
- ^ Curtis, T. (1992). "The origin of AIDS"
. Rolling Stone (626): 54–59, 61, 106, 108.
- ^ Hooper, E. (1999). The River : A Journey to the Source of HIV and AIDS (edisi ke-1st). Boston, MA: Little Brown & Co. hlm. 1–1070. ISBN 0-316-37261-7.
- ^ Worobey M, Santiago ML, Keele BF, Ndjango JB, Joy JB, Labama BL, Dhed'A BD, Rambaut A, Sharp PM, Shaw GM, Hahn BH (2004). "Origin of AIDS: contaminated polio vaccine theory refuted". Nature 428 (6985): 820. PubMed
.
- ^ Berry N, Jenkins A, Martin J, Davis C, Wood D, Schild G, Bottiger M, Holmes H, Minor P, Almond N (2005). "Mitochondrial DNA and retroviral RNA analyses of archival oral polio vaccine (OPV CHAT) materials: evidence of macaque nuclear sequences confirms substrate identity". Vaccine 23: 1639–1648. PubMed
.
- ^ Centers for Disease Control and Prevention. (2004-03-23). Oral Polio Vaccine and HIV / AIDS: Questions and Answers
. Diakses pada 20 November 2006.
- ^ UNAIDS (2006). "The impact of AIDS on people and societies"
(PDF). 2006 Report on the global AIDS epidemic. http://data.unaids.org/pub/GlobalReport/2006/2006_GR_CH04_en.pdf
. Diakses pada 2006-06-14.
- ^ Ogden, J. and Nyblade, L.. (2005). Common at its core: HIV-related stigma across contexts
. (PDF) International Center for Research on Women. Diakses pada 15 Februari 2007.
- ^ a b c Herek, G. M. and Capitanio, J. P.. (1999). AIDS Stigma and sexual prejudice
. (PDF) Am. Behav, Scientist. Diakses pada 27 Maret 2006.
- ^ Snyder M, Omoto AM, Crain AL. (1999). "Punished for their good deeds: stigmatization for AIDS volunteers". American Behavioral Scientist 42 (7): 1175–1192.
- ^ Herek GM, Capitanio JP, Widaman KF. (2002). "HIV-related stigma and knowledge in the United States: prevalence and trends, 1991–1999"
(PDF). Am. J. Public Health. 92 (3): 371–377.
- ^ a b Greener, R. (2002). "AIDS and macroeconomic impact". di dalam S, Forsyth (ed.) (PDF). State of The Art: AIDS and Economics. IAEN. hlm. 49–55.
- ^ Over, M. (1992). "The macroeconomic impact of AIDS in Sub-Saharan Africa, Population and Human Resources Department". The World Bank.
- ^ Duesberg, P. H. (1988). "HIV is not the cause of AIDS". Science 241 (4865): 514, 517. PubMed
.
- ^ Papadopulos-Eleopulos, E., Turner, V. F., Papadimitriou, J., Page, B., Causer, D., Alfonso, H., Mhlongo, S., Miller, T., Maniotis, A. and Fiala, C. (2004). "A critique of the Montagnier evidence for the HIV/AIDS hypothesis". Med Hypotheses 63 (4): 597–601. PubMed
.
- ^ Untuk bukti konsensis ilmu pengetahuan bahwa HIV menyebabkan AIDS, lihat:
- O'Brien SJ, Goedert JJ (1996). "HIV causes AIDS: Koch's postulates fulfilled". Curr. Opin. Immunol. 8 (5): 613-8.
- Galéa P, Chermann JC (1998). "HIV as the cause of AIDS and associated diseases". Genetica 104 (2): 133-42.
- ^ Watson J (2006). "Scientists, activists sue South Africa's AIDS 'denialists'". Nat. Med. 12 (1): 6. DOI:10.1038/nm0106-6a
.
- ^ Baleta A (2003). "S Africa's AIDS activists accuse government of murder". Lancet 361 (9363): 1105.
- ^ Cohen J (2000). "South Africa's new enemy". Science 288 (5474): 2168-70.
Bacaan lanjutan
- (en) The HIV Life Cycle
. (pdf) US Department of Health and Human Services. Diakses pada 21 Maret 2008.
Pranala luar